Kekayaan Kita : Rizki atau Istidraj ?


Memiliki harta (yang banyak) tentu bukan perkara yang dilarang dalam agama. Ajaran agama tidak pernah concern pada jumlah kekayaan, tapi lebih pada proses mendapatkan kekayaan tersebut dan bagaimana kekayaan itu dipergunakan. Tidak ada ayat atau hadits yang menyatakan bahwa kekayaan yang boleh dimiliki seseorang maksimal Rp. 1 juta , misalnya. Yang ada pada ajaran kita adalah jika memiliki kekayaan sekitar sekian rupiah, maka zakatnya sekian persen. Tidak ada seruan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah untuk membatasi bentuk harta kekayaan yang boleh dimiliki (misalnya properti saja atau pertanian saja atau emas saja atau peternakan saja). Yang senantiasa diserukan adalah agar kita mencari harta kekayaan yang halal dengan jujur dan amanah.

Derasnya arus materialisme dan bergesernya nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, turut mempengaruhi cara pandang dalam menilai seseorang. Kemuliaan dan kehormatan kini cenderung dinilai atau diukur dari seberapa banyak harta yang dikuasai, entah diperoleh dengan cara-cara yang dihalalkan maupun yang diharamkan. Berkawan dan bersosialisasi dengan kaum the haves dirasakan lebih berharga dan lebih penting dibanding dengan kaum miskin. Pola hidup jetset gentar digaungkan oleh media. Kehidupan borjuis terus-menerus dimasukkan ke dalam pikiran masyarakat. Khayalan-khayalan kemewahan hidup dijadikan opini umum (bukan mengajak masyarakat untuk menjadi pembelajar ikhlas dan pekerja keras dan jujur). Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran [3] : 14 : " Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
Kadangkala, kemiskinanpun ditayangkan di televisi, tapi bukan untuk menghilangkan kemiskinan tapi dieksploitasi untuk meraih rating dan pemasukan dari iklan untuk si pemilik tayangan dengan sedikit memberikan "uang receh" kepada si miskin yang jadi aktor di tayangan tersebut. "Perjuangan" untuk mewujudkan pemikiran materialisme, khayalan-khayalan borjuis dan impian kemewahan hidup ke dalam kenyataan menjadi pemandangan sehari-hari. Sebagian sudah "berhasil", sebagian lainnya masih terus berjuang. Demi mengejar status sosial, banyak orang rela melakukan apa saja, dimana saja dan kapan saja. Nilai-nilai agama tidak lagi menjadi rambu dan petunjuk penting dalam "perjuangannya" itu. Halal-haram tidak lagi penting. Yang paling penting adalah seberapa cepat dan seberapa banyak kekayaan itu bisa dikuasai. Ini bisa dimaklumi karena motivasi perjuangannya bukanlah untuk mencari ridha Allah swt.

Muncullah di permukaan bumi ini orang-orang yang kaya raya. Hartanya berlimpah, kehidupannya mewah. Kekayaannya mengundang decak, gaya hidupnya membuat orang terhenyak. Tapi (sayangya) banyak orang kaya yang seperti itu justru jauh dari tuntutan agama. Mereka melupakan Allah dan Rasul-Nya. Mereka melakukan keburukan dan kefasikan. Mereka melumrahkan kecurangan dan kesewenang-wenangan. Tingkah laku mereka dijadikan trendsetter oleh media (misalnya melalui tayangan infotainment dan sinetron). Tidak ada lagi rasa malu melakukan berbagai pelanggaran terhadap nilai atau norma agama atau moral. Tidak ada keraguan untuk memamerkan dan mempertontonkan kegilaan materialistik dan kemaksiatan. Mereka mengajak masyarakat untuk "meneladani" mereka: pikirannya, ucapannya, tindakannya, pakaiannya, makanannya, minumannya, bahasanya, dan gaya hidupnya. Tak jarang pula mereka tampil religius, lengkap dengan ucapan yang fasih, "Ini semua rizki dan nikmat dari Allah swt". Uniknya, walaupun merek seperti itu, kekayaan mereka tidak berkurang sedikitpun. Bahkan semakin berlipat ganda. Popularitas mereka semakin tinggi. Polah tingkah mereka menjadi opini umum di masyarakat. Mereka melaju terus, lenggang kangkung, tanpa hambatan. Suara-suara protes kritis dan nasehat, dianggap angin sepoi-sepoi yang segera berlalu dan terlupakan. Semakin jauh dari aturan Allah swt, tawa mereka semakin membahana, senyum semakin lebar, semakin populer dan semakin kaya raya.

Bagaimana bisa orang-orang yang tidak mau dekat dengan Allah justru dikaruniai "rizki" yang berlimpah ruah dan memiliki pengaruh luas ? Bagaimana dengan janji Allah bahwa dunia ini diwariskan kepada kaum yang beriman ? Bagaimana bisa mereka tersenyum penuh kemenangan dan terus saja melaju dalam kemaksiatannya yang disiarkan setiap hari untuk disimak oleh berjuta-juta rakyat ? Bagaimana pula dengan orang-orang yang rajin shalat, rutin mengaji, rajin menolong orang, tak absen di forum-forum pengajian, tapi "rizki" mereka amat seret ?

Tidak ada yang perlu dirisaukan. Mari kita lihat firman Allah swt dalam surat Al-An'aam [6] : 44: "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pinta kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."

Orang-orang yang jauh dari mengingat Allah swt, justru Allah "karuniakan" berbagai kesenangan duniawi. Semakin senang, semakin maksiat, semakin lupa akan iman dan amal saleh, justru semakin Allah tambahkan "karunia" tersebut berkali-kali lipat. Harta, kesenangan, popularitas, kekuasaan, kewenangan, kecerdasan, pengaruh politis serta kemewahan hidup mereka adalah palsu belaka. Allah memberikannya kepada mereka tetapi tidak disertai dengan keberkahan. Tidak ada rahmat-Nya disana. Tidak ada 'senyum'-Nya disana. Semua "karunia" itu tidak membuat mereka tentram dan ingat kepada Allah. "Karunia" tersebut tidak menjadikan mereka ahli ibadah yang dekat dengan-Nya. Allah swt berfirman dalam surat Al-Mukminun [23] : 55-56 : "Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka ? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar."

Sesungguhnya "karunia" mereka itu tidak pantas disebut rizki. Allah telah memberikan terminologi khusus untuk itu. Allah berfirman dalam surat Al-Qalam [68] : 44-45 : "Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepadaKu (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh." Dan juga dalam surat Al-A'raf [7] : 182 : "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui."

Itulah istidraj. Secara harfiah, istidraj bermakna berangsur-angsur, bertahap, atau berkelanjutan. Secara istilah, istidraj bermakna pemberian (nikmat) Allah swt (yang berlipat-lipat banyaknya) kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, yang dengan itu mereka semakin ingkar kepada Allah swt dan Rasul-Nya, sehingga semua karunia nikmat-Nya tersebut justru akan membawa mereka pada kebinasaan, baik binasa hati nurani, binasa akhlak, binasa ruhani, binasa harta (karena pertikaian perebutan harta), binasa popularitas (karena tersaingi atau terkena kasus-kasus hukum), dan binasa di hari akhir kelak. Allah swt berfirman : "Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya, dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu ? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan." (QS Al-Humazah [104] : 1-6.

Rasulullah saw menegaskan lagi dalam sabdanya : "Apabila kamu melihat Allah memberi seorang hamba apa yang diingikannya, padalah hamba itu selalu berbuat maksiat, maka sesungguhnya itu adalah istidraj dari Allah untuknya. (lalu Rasulullah saw membaca surat Al-An'aam ayat 44)." (HR. Ahmad dan Thabrani, dalam kitab As-Syu'ab). Jelaslah kini bagi kita mengapa koruptor bisa bebas melanglang sambil tersenyum serta terus berjaya. Teranglah kini bagi kita mengapa para politisi dan birokrat penipu bisa terus bertengger lama di jabatannya. Tidak ada lagi tanda tanya dan kerisauan di dada kita.

Bagaimana dengan "nasib" orang-orang yang beriman ? Allah swt telah memberikan 'surat cinta' untuknya (peringatan) : "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid [57] : 20).

Namun, apakah ini berarti kaum beriman tidak boleh dan tidak bisa mendapatkan kenikmatan dan kejayaan di dunia dalam rangka menebar rahmat-Nya ? Allah swt berfirman : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah swt kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash [77]: 77). Inilah yang seharusnya jadi concern kaum beriman. Inilah tuntutan yang tepat. Inilah rizki dari Allah swt yang akan memberikan ketenangan karena di dalamnya ada keberkahan, ada rahmat, dan ada 'senyum' dari Allah swt. Inilah yang membedakannya dengan istidraj. Tidak perlu iri dengan kelebihan harta orang lain, tapi marilah kita syukuri dan kita kembangkan nikmat rizki dari Allah swt. Marilah kita bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas agar bisa menjadi kaya dengan rizki-Nya, bukan istidraj.

Wallahu a'lam bisshawab

Sumber : Lembar Khutbah Jum'at Khairu Ummah

Leave a Reply